Laman

Rabu, 13 April 2011

KECELAKAAN KERJA DI INDUSTRI KIMIA

                                                                            BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Bahan Kimia meliputi bahan mudah terbakar, bersifat racun, korosif, tidak stabil, sangat reaktif, dan gas yang berbahaya. Penggunaan senyawa yang bersifat karsinogenik dalam industri maupun laboratorium merupakan problem yang signifikan, baik karena sifatnya yang berbahaya maupun cara yang ditempuh dalam penanganannya. Beberapa langkah yang harus ditempuh dalam penanganan bahan kimia berbahaya meliputi manajemen, cara pengatasan, penyimpanan dan pelabelan, keselamatan di laboratorium, pengendalian dan pengontrolan tempat kerja, dekontaminasi, disposal, prosedur keadaan darurat, kesehatan pribadi para pekerja, dan pelatihan. Bahan kimia dapat menyebabkan kecelakaan melalui pernafasan (seperti gas beracun), serapaan pada  kulit (cairan), atau bahkan tertelan melalui mulut untuk padatan dan cairan.
            Bahan kimia berbahaya dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yaitu, bahan kimia yang eksplosif (oksidator, logam aktif, hidrida, alkil logam, senyawa tidak stabil secara termodinamika, gas yang mudah terbakar, dan uap yang mudah terbakar). Bahan kimia yang korosif (asam anorganik kuat, asam anorganik lemah, asam organik kuat, asam organik lemah, alkil kuat, pengoksidasi, pelarut organik). Bahan kimia yang merusak paru-paru (asbes), bahan kimia beracun, dan bahan kimia karsinogenik (memicu pertumbuhan sel kanker), dan teratogenik.
1.2 Tujuan
  1. Agar tenaga kerja memiliki pengetahuan dan kemampuan mencegah kecelakaan kerja di industri kimia.
  2. mengembangkan konsep dan kebiasaan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja di industri kimia..
  3. memahami ancaman bahaya yang ada di tempat kerja dan menggunakanlangkah pencegahan kecelakaan kerja di industri kimia.

BAB II
 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Industri Kimia
Keselamatan (safety) adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan/ mengontrol resiko yang tidak bisa diterima. Ketidak berterimaan awalnya berasal dari bahaya,. Bahaya adalah suatu keadaan yang berpotensi untuk terjadinya kecelakaan dan kerugian.
Kesehatan (Health) adalah  perlindungan bagi pekerja terhadap pemerasan/eksploitasi tenaga kerja oleh pengusaha.   
Kecelakaan (Accident) adalah kejadian yang tidak diinginkan yang dapat mengakibatkan, luka pada manusia, kerusakan harta benda, kerugian pada proses atau terjadinya kontak dengan suatu benda atau sumber tenaga yang lebih dari daya tahan tubuh atau struktur.
2.2 Faktor Terjadinya Kecelakaan Kerja
1.    Disebabkan oleh kesalahan tenaga kerja (karyawan) sendiri.
2.    Disebabkan teman sekerja sehingga ia (pekerja) mengalami kecelakaan.
3.   Tanggungan pekerja, karena menganggap perusahaan merasa sudah     membayar      (menggaji) maka resiko kecelakaan menjadi tanggungan pekerja.
4.    Karena pekerja mengalami kelalaian, sehingga terjadi kecelakaan
2.3 Bahan Kimia Berbahaya
Bahan berbahaya adalah bahan-bahan yang pembuatan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan penggunaanya menimbulkan atau membebaskan debu, kabut, uap, gas, serat, atau radiasi sehingga dapat menyebabkan iritasi, kebakaran, ledakan, korosi, keracunan dan bahaya lain dalam jumlah yang memungkinkan gangguan kesehatan bagi orang yang berhubungan langsung dengan bahan tersebut atau meyebabkan kerusakan pada barang-barang.
·         Penggunaan Bahan Kimia
Bahan kimia banyak digunakan dalam lingkungan kerja yang dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu :
  1. Industri Kimia, yaitu industri yang mengolah dan menghasilkan bahan-bahan kimia, diantaranya industri pupuk, asam sulfat, soda, bahan peledak, pestisida, cat , deterjen, dan lain-lain.  Industri kimia dapat diberi batasan sebagai industri yang ditandai dengan penggunaan proses-proses yang bertalian dengan perubahan kimiawi atau fisik dalam sifat-sifat bahan tersebut dan khususnya pada bagian kimiawi dan komposisi suatu zat.
  2. Industri Pengguna Bahan Kimia, yaitu industri yang menggunakan bahan kimia sebagai bahan pembantu proses, diantaranya industri tekstil, kulit, kertas, pelapisan listrik, pengolahan logam, obat-obatan dan lain-lain.
  3. Laboratorium, yaitu tempat kegiatan untuk uji mutu, penelitian dan pengembangan serta pendidikan.  Kegiatan laboratorium banyak dipunyai oleh industri, lembaga penelitian dan pengembangan, perusahaan jasa, rumah sakit dan perguruan tinggi.
Dalam lingkungan kerja tersebut, banyak bahan kimia yang terpakai tiap harinya sehingga para pekerja terpapar bahaya dari bahan-bahan kimia itu. Bahaya itu terkadang meningkat dalam kondisi tertentu mengingat sifat bahan-bahan kimia itu, seperti mudah terbakar, beracun, dan sebagainya.  Dengan demikian, jelas bahwa bekerja dengan bahan-bahan kimia mengandung risiko bahaya, baik dalam proses, penyimpanan, transportasi, distribusi, dan penggunaannya. Akan tetapi, betapapun besarnya bahaya bahan-bahan kimia tersebut, penanganan yang benar akan dapat mengurangi atau menghilangkan risiko bahaya yang diakibatkannya.

2.4   Klasifikasi Bahan Kimia
2.4.1. Klasifikasi Umum
Klasifikasi atau penggolongan bahan kimia berbahaya diperlukan untuk memudahkan pengenalan serta cara penanganan dan transportasi.  Secara umum bahan kimia berbahya diklasifikasikan menjadi beberapa golongan diantaranya sebagai berikut :
1.  Bahan Kimia Beracun (Toxic)
Adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan manusia atau menyebabkan kematian apabila terserap ke dalam tubuh karena tertelan, lewat pernafasan atau kontak lewat kulit.
Pada umumnya zat toksik masuk lewat pernafasan atau kulit dan kemudian beredar keseluruh tubuh atau menuju organ-organ tubuh tertentu.  Zat-zat tersebut dapat langsung mengganggu organ-organ tubuh tertentu seperti hati, paru-paru, dan lain-lain.  Tetapi dapat juga zat-zat tersebut berakumulasi dalam tulang, darah, hati, atau cairan limpa dan  menghasilkan efek kesehatan pada jangka panjang.  Pengeluaran zat-zat beracun dari dalam tubuh dapat melewati urine, saluran pencernaan, sel efitel dan keringat.
2.      Bahan Kimia Korosif (Corrosive)
Adalah bahan kimia yang karena reaksi kimia dapat mengakibatkan kerusakan apabila kontak dengan jaringan tubuh atau bahan lain.
Zat korosif dapat bereaksi dengan jaringan seperti kulit, mata, dan saluran pernafasan.  Kerusakan dapat berupa luka, peradangan, iritasi (gatal-gatal) dan sinsitisasi (jaringan menjadi amat peka terhadap bahan kimia).

3. Bahan Kimia Mudah Terbakar (Flammable)
Adalah bahan kimia yang mudah bereaksi dengan oksigen dan dapat menimbulkan kebakaran.  Reaksi kebakaran yang amat cepat dapat juga menimbulkan ledakan.
4. Bahan Kimia Peledak (Explosive)
Adalah suatu zat padat atau cair atau campuran keduanya yang karena suatu reaksi kimia dapat menghasilkan gas dalam jumlah dan tekanan yang besar serta suhu yang tinggi, sehingga menimbulkan kerusakan disekelilingnya.
Zat eksplosif amat peka terhadap panas dan pengaruh mekanis (gesekan atau tumbukan), ada yang dibuat sengaja untuk tujuan peledakan atau bahan peledak seperti trinitrotoluene (TNT), nitrogliserin dan ammonium nitrat (NH4NO3).
5. Bahan Kimia Oksidator (Oxidation)
Adalah suatu bahan kimia yang mungkin tidak mudah terbakar, tetapi dapat menghasilkan oksigen yang dapat menyebabkan kebakaran bahan-bahan lainnya.
6. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Air (Water Sensitive Substances)
Adalah bahan kimia yang amat mudah bereaksi dengan air dengan mengeluarkan panas dan gas yang mudah terbakar.
7. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Asam (Acid Sensitive Substances)
Adalah bahan kimia yang amat mudah bereaksi dengan asam menghasilkan panas dan gas yang mudah terbakar atau gas-gas yang beracun dan korosif.
8. Gas Bertekanan (Compressed Gases)
Adalah gas yang disimpan dibawah tekanan, baik gas yang ditekan maupun gas cair atau gas yang dilarutkan dalam pelarut dibawah tekanan.
9. Bahan Kimia Radioaktif (Radioactive Substances)
Adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan memancarkan sinar radioaktif dengan aktivitas jenis lebih besar dari 0,002 microcurie/gram.
Suatu bahan kimia dapat termasuk diantara satu atau lebih golongan di atas karena memang mempunyai sifat kimia yang lebih dari satu sifat.
2.4.2         Sistem Klasifikasi PBB
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) memberikan klasifikasi bahan berbahaya seperti tabel berikut ini.
Tabel  :  Klasifikasi bahan berbahaya berdasarkan PBB
Klas
Penjelasan
Klas I
(Eksplosif)
Dapat terurai pada suhu dan tekanan tertentu dan mengeluarkan gas kecepatan tinggi dan merusak sekeliling
Klas II
(Cairan mudah terbakar)
  1. Gas mudah terbakar
  2. Gas tidak mudah terbakar
  3. Gas beracun
Klas III
(Bahan mudah terbakar)
  1. Cairan : F.P <23oC
  2. Cairan : F.P >23oC
( F.P = flash point)
Klas IV
(Bahan mudah terbakar selain klas II dan III)
  1. Zat padat mudah terbakar
  2. Zat yang mudah terbakar dengan sendirinya
  3. Zat yang bila bereaksi dengan air dapat mengeluarkan gas mudah terbakar
Klas V
(Zat pengoksidasi)
  1. Oksidator bahan anorganik
  2. Peroksida organic
Klas VI
(Zat racun)
  1. Zat beracun
  2. Zat menyebabkan infeksi
Klas VII
(Zat radioaktif)
Aktifitas : 0.002 microcury/g
Klas VIII
(Zat korosif)
Bereaksi dan merusak

2.5      Penyimpanan Bahan Kimia Berbahaya
Mengelompokkan bahan kimia berbahaya di dalam penyimpanannya mutlak diperlukan, sehingga tempat/ruangan yang ada dapat di manfaatkan sebaik-baiknya dan aman.  Mengabaikan sifat-sifat fisik dan kimia dari bahan yang disimpan akan mengandung bahaya seperti kebakaran, peledakan, mengeluarkan gas/uap/debu beracun, dan berbagai kombinasi dari pengaruh tersebut. Penyimpanan bahan kimia berbahaya sebagai berikut :
1. Bahan Kimia Beracun (Toxic)
Bahan ini dalam kondisi normal atau dalam kondisi kecelakaan ataupun dalam kondisi kedua-duanya dapat berbahaya terhadap kehidupan sekelilingnya.  Bahan beracun harus disimpan dalam ruangan yang sejuk, tempat yang ada peredaran hawa, jauh dari bahaya kebakaran dan bahan yang inkompatibel (tidak dapat dicampur) harus dipisahkan satu sama lainnya. Jika panas mengakibatkan proses penguraian pada bahan tersebut maka tempat penyimpanan harus sejuk dengan sirkulasi yang baik, tidak terkena sinar matahari langsung dan jauh dari sumber panas.
2.      Bahan Kimia Korosif (Corrosive)
Beberapa jenis dari bahan ini mudah menguap sedangkan lainnya dapat bereaksi dahsyat dengan uap air.  Uap dari asam dapat menyerang/merusak bahan struktur dan peralatan selain itu beracun untuk tenaga manusia.  Bahan ini harus disimpan dalam ruangan yang sejuk dan ada peredaran hawa yang cukup untuk mencegah terjadinya pengumpulan uap.  Wadah/kemasan dari bahan ini harus ditangani dengan hati-hati, dalam keadaan tertutup dan dipasang label.  Semua logam disekeliling tempat penyimpanan harus dicat dan diperiksa akan adanya kerusakan yang disebabkan oleh korosi.
Penyimpanannya harus terpisah dari bangunan lain dengan dinding dan lantai yang tahan terhadap bahan korosif, memiliki perlengkapan saluran pembuangan untuk tumpahan, dan memiliki ventilasi yang baik.  Pada tempat penyimpanan harus tersedia pancaran air untuk pertolongan pertama bagi pekerja yang terkena bahan tersebut.
3. Bahan Kimia Mudah Terbakar (Flammable)
Praktis semua pembakaran terjadi antara oksigen dan bahan bakar dalam bentuk uapnya atau beberapa lainnya dalam keadaan bubuk halus.  Api dari bahan padat berkembang secara pelan, sedangkan api dari cairan menyebar secara cepat dan sering terlihat seperti meledak.  Dalam penyimpanannya harus diperhatikan sebagai berikut :
a. Disimpan pada tempat yang cukup dingin untuk mencegah penyalaan tidak sengaja pada waktu ada uap dari bahan bakar dan udara
b. Tempat penyimpanan mempunyai peredaran hawa yang cukup, sehingga bocoran uap akan diencerkan konsentrasinya oleh udara untuk mencegah percikan api
c. Lokasi penyimpanan agak dijauhkan dari daerah yang ada bahaya kebakarannya
d. Tempat penyimpanan harus terpisah dari bahan oksidator kuat, bahan yang mudah menjadi panas dengan sendirinya atau bahan yang bereaksi dengan udara atau uap air yang lambat laun menjadi panas
e. Di tempat penyimpanan tersedia alat-alat pemadam api dan mudah dicapai
f. Singkirkan semua sumber api dari tempat penyimpanan
g. Di daerah penyimpanan dipasang tanda dilarang merokok
h. Pada daerah penyimpanan dipasang sambungan tanah/arde serta dilengkapi alat deteksi asap atau api otomatis dan diperiksa secara periodic
4. Bahan Kimia Peledak (Explosive)
Terhadap bahan tersebut ketentuan penyimpananya sangat ketat, letak tempat penyimpanan harus berjarak minimum 60[meter] dari sumber tenaga, terowongan, lubang tambang, bendungan, jalan raya dan bangunan, agar pengaruh ledakan sekecil mungkin.  Ruang penyimpanan harus merupakan bangunan yang kokoh dan tahan api, lantainya terbuat dari bahan yang tidak menimbulkan loncatan api, memiliki sirkulasi udara yang baik dan bebas dari kelembaban, dan tetap terkunci sekalipun tidak digunakan. 
Untuk penerangan harus dipakai penerangan alam atau lampu listrik yang dapat dibawa atau penerangan yang bersumber dari luar tempat penyimpanan.  Penyimpanan tidak boleh dilakukan di dekat bangunan yang didalamnya terdapat oli, gemuk, bensin, bahan sisa yang dapat terbakar, api terbuka atau nyala api.  Daerah tempat penyimpanan harus bebas dari rumput kering, sampah, atau material yang mudah terbakar, ada baiknya memanfaatkan perlindungan alam seperti bukit, tanah cekung belukar atau hutan lebat.
5. Bahan Kimia Oksidator (Oxidation)
Bahan ini adalah sumber oksigen dan dapat memberikan oksigen pada suatu reaksi meskipun dalam keadaan tidak ada udara.  Beberapa bahan oksidator memerlukan panas sebelum menghasilkan oksigen, sedangkan jenis lainnya dapat menghasilkan oksigen dalam jumlah yang banyak pada suhu kamar.  Tempat penyimpanan bahan ini harus diusahakan agar suhunya tetap dingin, ada peredaran hawa, dan gedungnya harus tahan api.  Bahan ini harus dijauhkan dari bahan bakar, bahan yang mudah terbakar dan bahan yang memiliki titik api rendah.
Alat-alat pemadam kebakaran biasanya kurang efektif dalam memadamkan kebakaran pada bahan ini, baik penutupan ataupun pengasapan, hal ini dikarenakan bahan oksidator menyediakan oksigen sendiri.
6. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Air (Water Sensitive Substances)
Bahan ini bereaksi dengan air, uap panas atau larutan air yang lambat laun mengeluarkan panas atau gas-gas yang mudah menyala.  Karena banyak dari bahan ini yang mudah terbakar maka tempat penyimpanan bahan ini harus tahan air, berlokasi ditanah yang tinggi, terpisah dari penyimpanan bahan lainnya, dan janganlah menggunakan sprinkler otomatis di dalam ruang simpan.
7. Bahan Kimia Reaktif Terhadap Asam (Acid Sensitive Substances)
Bahan ini bereaksi dengan asam dan uap asam menghasilkan panas, hydrogen dan gas-gas yang mudah menyala.  Ruangan penyimpanan untuk bahan ini harus diusahakan agar sejuk, berventilasi, sumber penyalaan api harus disngkirkan dan diperiksa secara berkala.  Bahan asam dan uap dapat menyerang bahan struktur campuran dan menghasilkan hydrogen, maka bahan asam dapat juga disimpan dalam gudang yang terbuat dari kayu yang berventilasi.  Jika konstruksi gudang trbuat dari logam maka harus di cat atau dibuat kebal dan pasif terhadap bahan asam.
8. Gas Bertekanan (Compressed Gases)
Silinder dengan gas-gas bertekanan harus disimpan dalam keadaan berdiri dan diikat dengan rantai atau diikat secara kuat pada suatu penyangga tambahan.  Ruang penyimpanan harus dijaga agar sejuk , bebas dari sinar matahari langsung, jauh dari saluran pipa panas di dalam ruangan yang ada peredaran hawanya.  Gedung penyimpanan harus tahan api dan harus ada tindakan preventif agar silinder tetap sejuk bila terjadi kebakaran, misalnya dengan memasang sprinkler.
9. Bahan Kimia Radioaktif (Radioactive Substances)
Radiasi dari bahan radioaktif dapat menimbulkan efek somatik dan efek genetik, efek somatik dapat akut atau kronis.  Efek somatik akut bila terkena radiasi 200 sampai 5000 yang dapat menyebabkan sindroma system saraf sentral, sindroma gas trointestinal dan sindroma kelainan darah, sedangkan efek somatik kronis terjadi pada dosis yang rendah.  Efek genetik mempengaruhi alat reproduksi yang akibatnya diturunkan pada keturunan. 
 Bahan ini meliputi isotop radioaktif dan semua persenyawaan yang mengandung radioaktif.  Pemakai zat radioaktif dan sumber radiasi harus memiliki instalasi fasilitas atom, tenaga yang terlatih untuk bekerja dengan zat radioaktif, peralatan teknis yang diperlukan dan mendapat izin dari BATAN.  Penyimpanannya harus ditempat yang memiliki peralatan cukup untuk memproteksi radiasi, tidak dicampur dengan bahan lain yang dapat membahayakan, packing/kemasan dari bahan radioaktif harus mengikuti ketentuan khusus yang telah ditetapkan dan keutuhan kemasan harus dipelihara.  Peraturan perundangan mengenai bahan radioaktif diantaranya :
  • Undang-Undang Nomor 31/64 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom
  • Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 Tentang Keselamatan Kerja terhadap radiasi
  • Peraturan pemerintah No. 12 Tahun 1975 Tentang izin Pemakaian Zat Radioaktif dan atau Sumber Radiasi lainnya
  • Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 Tentang Pengangkutan Zat Radioaktif
Maka Peta Keterkaitan Kegiatan untuk tata letak penyimpanan material kimia berbahaya berdasarkan ketentuan safety tersebut di atas adalah sebagai berikut
 gambar-peta-keterkaitan-kegiatan-untuk-penyimpanan-raw-material
Gambar Peta keterkaitan kegiatan untuk penyimpanan raw material.
2.6    Lembar Data Bahaya
Lembar data bahaya (Hazard Data Sheets/HDSs) terkadang disebut Material Safety Data Sheets (MSDSs) atau Chemical Safety Data Sheet (CSDSs) adalah lembar informasi yang detail tentang bahan-bahan kimia.  Umumnya lembar ini disiapkan dan dibuat oleh pabrik kimia atau suatu program, seperti International Programme On Chemical Safety (IPCS) yang aktifitasnya terkait dengan World Health Organization (WHO), International Labour Organization (ILO), dan United Environment Programme (UNEP). 
HDSs/MSDSs/CSDSs merupakan sumber informasi tentang bahan kimia yang penting dan dapat diakses tetapi kualitasnya dapat bervariasi.  Jika anda menggunakan HDSs, berhati-hatilah terhadap keterbatasannya, sebagai contoh, HDSs sering sulit untuk dibaca dan dimengerti. Keterbatasan lain yang serius adalah seringnya tidak memuat informasi yang cukup tentang bahaya dan peringatan penting yang anda butuhkan ketika bekerja dengan bahan kimia tertentu.  Untuk mengatasi keterbatasan ini, kapanpun dimungkinkan untuk menggunakan sumber informasi lain secara bersama-sama dengan HDSs.  Suatu ide yang baik untuk mewakili kasehatan dan keselamatan dengan menyimpan lembar data bahaya  pada setiap penggunaan bahan kimia di tempat kerja.
Informasi berikut harus muncul pada semua lembar data bahaya, akan tetapi urutan dapat berbeda dari yang dijelaskan dibawah ini.
Bagian 1 :  Identifikasi produk dan pabrik
Identifikasi produk :  nama produk tertera disini dengan nama kimia atau nama dagang, nama yang tertera harus sama dengan nama yang ada pada label.  Lembar data bahaya juga harus mendaftar sinonim produk atau substansinya, sinonim adalah nama lain dengan substansi yang diketahui. Contohnya Methyl alcohol juga dikenal sebagai Metanol atau Alkohol kayu.
Identifikasi pabrik :  nama pabrik atau supplier, alamat, nomor telepon, tanggal HDSs dibuat, dan nomor darurat untuk menelepon setelah jam kerja, merupakan ide yang baik bagi pengguna produk untuk menelepon pabrik pembuat produk sehingga mendapatkan informasi tentang produk tersebut sebelum terjadi hal yang darurat.
Bagian 2 :  Bahan-bahan berbahaya
Untuk produk campuran, hanya bahan-bahan berbahaya saja yang tercantum pada daftar khusus bahan kimia, dan yang didata bila komposisinya ≥ 1% dari produk.  Pengecualian untuk zat karsinogen yang harus di daftar jika komposisinya 0,1% dari campuran.  Batas konsentrasi yaitu Permissible Exposure Limit (PEL) dan The Recommended Threshold Limit Value (TLV ) harus didata dalam HDSs.
Bagian 3 :  Data Fisik
Bagian ini mendata titik didih, tekanan, density, titik cair, tampilan, bau, dan lain-lain.  Informasi pada bagian ini membantu anda mengerti bagaimana sifat bahan kimia dan jenis bahaya yang ditimbulkannya.

Bagian 4 :  Data Kebakaran Dan Ledakan
Bagian ini mendata titik nyala api dan batas mudah terbakar atau meledak, serta menjelaskan kepada anda bagaimana memadamkan api.  Informasi pada bagian ini dibutuhkan untuk mencegah, merencanakan dan merespon kebakaran atau ledakan dari bahan-bahan kimia.
Bagian 5 :  Data Reaktifitas
Bagian ini menjelaskan kepada anda apakah suatu substansi stabil atau tidak, bila tidak, bahaya apa yang ditimbulkan dalam keadaan tidak stabil.  Bagian ini mendata ketidakcocokan substansi, substansi mana yang tidak boleh diletakkan atau digunakan secara bersamaan.  Informasi ini penting untuk penyimpanan dan penanganan produk yang tepat.
Bagian 6 :  Data Bahaya Kesehatan
Rute tempat masuk (pernafasan, penyerapan kulit atau ingestion), efek kesehatan akut dan kronik, tanda-tanda dan gejala awal, apakah produknya bersifat karsinogen, masalah kesehatan yang makin buruk bila terkena, dan pertolongan pertama yang direkomendasikan/prosedur gawat darurat,  semuanya seharusnya terdaftar di bagian ini.
Bagian 7 :  Tindakan Pencegahan Untuk Penanganan
Informasi dibutuhkan untuk memikirkan rencana respon gawat darurat, prosedur pembersihan, metode pembuangan yang aman, yang dibutuhkan dalam penyimpanan,  dan penanganan tindakan pencegahan harus detail pada bagian ini.  Akan tetapi sering kali pabrik pembuat produk meringkas informasi ini dengan satu pernyataan yang simple, seperti hindari menghirup asap atau hindari kontak dengan kulit.

Bagian 8 :  Pengukuran Kontrol
Metode yang direkomendasikan untuk control bahaya termasuk ventilasi, praktek kerja dan alat pelindung diri/Personal Protective Equipment (PPE) dirincin pada bagian ini.  Tipe respirator, baju pelindung dan sarung tangan material yang paling resisten untuk produk harus diberitahu.  Lebih dari rekomendasi perlindungan material yang paling resisten,  HDSs boleh dengan simple menyatakan bahwa baju dan sarung tangan yang tidak dapat ditembus harus digunakan.  Bagian ini cenderung menekankan alat pelindung diri daripada control engineering.
2.6.1   Pemasangan Label dan Tanda Pada Bahan Berbahaya
Pemasangan label dan tanda dengan memakai lambang atau tulisan peringatan pada wadah atau tempat penyimpanan untuk bahan berbahaya adalah tindakan pencegahan yang esensial.  Tenaga kerja yang bekerja pada proses produksi atau pengangkutan biasanya belum mengetahui sifat bahaya dari bahan kimia dalam wadah/packingnya, demikian pula para konsumen dari barang tersebut, dalam hal inilah pemberian label dan tanda menjadi sangat penting.
Peringatan tentang bahaya dengan label dan tanda merupakan syarat penting dalam perlindungan keselamatan kerja, namun hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai perlindungan yang sudah lengkap, usaha perlindungan keselamatan lainnya masih tetap diperlukan.  Lambang yang umum dipakai untuk bahan kimia yang memiliki sifat berbahaya adalah sebagai berikut:
iritasixikorosifcdapatmeledakesangatmudahterbakarfmudahterbakarfdapatbereaksidgnapio4sangatberacuntberacuntberbahayauntuklingkungannberbahaya-jika-tertelan-xn
Gambar : Tanda bahaya dari bahan kimia
Keterangan :
E     =  Dapat Meledak                              T   =  Beracun
F+   =  Sangat Mudah Terbakar                 C   =  Korosif
F     =  Mudah Terbakar                            Xi   =  Iritasi
O    =  Pengoksidasi                                 Xn  =  Berbahaya Jika Tertelan
T+  =  Sangat Beracun                              N  =  Berbahaya Untuk Lingkungan
2.7  Kerugian Akibat Kecelakaan Kerja
1.       Kerugian Ekonomis
  • Kerusakan bahan dan mesin (Tangible,  Intangible)
  • Hari kerja yang hilang (Hilang pendapatan, gangguan usaha, gangguan suplay,   kenaikan premi,  kontrak buruh/mesin,  kehilangan keuntungan atas barang jadi, biaya pemulihan kepercayaan).
  • Biaya pengobatan (Status asuransi, asuransi kecelakaan pribadi, biaya pemulihan, biaya tak diasuransikan)
2.   Kerugian Non Ekonomis
·         Penderitaan fisik (Sakit, cidera, cacat permanen, efek kesehatan jangka panjang,  kematian)
·         Klaim atas kepercayaan  (Kepercayaan atas produk, kepercayaan professional, kepercayaan pekerja, klaim yang timbul akibat hubungan industrial)
·         Konsekwensi kehilangan (Hilang waktu, hilang kepercayaan, hilang kemerdekaan, hilang percaya diri, gangguan kehidupan, perubahan kebahagiaan).



2.8 Dampak Kecelakaan Kerja
Berikut ini merupakan penggolongan dampak dari kecelakaan kerja (Simanjuntak, 1994):
a. Meninggal dunia
Dalam hal ini termasuk kecelakaan yang paling fatal yang menyebabkan penderita meninggal dunia walaupun telah mendapatkan pertolongan dan perawatan sebelumnya.
b. Cacat permanen total
Merupakan cacat yang mengakibatkan penderita secara permanen tidak mampu lagi sepenuhnya melakukan pekerjaan produktif karena kehilangan atau tidak berfungsinya lagi bagian-bagian tubuh seperti: kedua mata, satu mata adan satu tangan atau satu lengan atau satu kaki. Dua bagian tubuh yang tidak terletak pada satu ruas tubuh.
c. Cacat permanen sebagian
Cacat yang mengakibatkan astu bagian tubuh hilang atau terpaksa dipotong atau sama sekali tidak berfungsi.
d. Tidak mampu bekerja sementara
Kondisi sementara ini dimaksudkan baik ketika dalam masa pengobatan maupun karena harus beristirahat menunggu kesembuhan, sehingga ada hari-hari kerja hilang dalam arti yang bersangkutan tidak melakukan kerja produktif.
2.9  Metoda Pengendalian Resiko Kecelakaan Kerja
1.      Teknis
  • Eliminasi : penghilangan sumber bahaya
  • Subtitusi : mengganti dengan bahan yang kurang berbahaya
  • Isolasi : proses kerja yang berbahaya disendirikan
  • Enclosing : mengurung / memagari sumber bahaya
  • Ventilasi
  • Maintenance
2.     Administratif
·         Monitoring lingkungan kerja
·         Pendidikan dan pelatihan
·         Labelling
·         Pemeriksaan kesehatan
·         Rotasi kerja
·         Housekeeping: 5S
·         Sanitasi yang bersih, mandi, fasilitas kesehatan.
3.   Alat pelindung diri
  • Topi pengaman
  • Pelindung telinga
  • Face shield
  • Masker
  • Respirator
  • Sarung tangan
  • Sepatu
2.10  Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Menghadapi Bahan Kimia
Kebijakan pemerintah indonesia di bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan salah satu bagian dari kebijakan pemerintah di bidang perlindungan tenaga kerja yang telah digariskan oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
” Upaya perlindungan tenaga kerja perlu terus ditingkatkan melalui perbaikan syarat kerja termasuk upah, gaji dan jaminan sosial, kondisi kerja termasuk kesehatan, keselamatan dan lingkungan kerja, serta hubungan kerja dalam rangka peningkatan kesejahteraan para pekerja secara menyeluruh.”
Berdasarkan GBHN tersebut oleh pimpinan Departemen Tenaga Kerja digariskan sebagai kebijakan Derparteman Tenaga Kerja yang antara lain menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja sebagai salah satu prioritas.
Penanganan bahan kimia khususnya bahan kimia berbahaya merupakan sasaran utama dalam rangka penanganan keselamatan dan kesehatan kerja.  Hal ini disebabkan karena bahan kimia merupakan sumber dari malapetaka yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, seperti kebakaran, peledakan, gangguan kesehatan yang merupakan penyakit akibat kerja.
Kebijakan penanganan bahan kimia khususnya dalam penggunaan dibidang industri/perusahaan pada dasarnya meliputi kebijakan :
  • Pembuatan peraturan/perundang-undangan
  • Pengawasan
  • Pendidikan/penyuluhan/training
  • Survei/penelitian
  • Informasi
  • Standarisasi
  • Kampanye
Ada beberapa peraturan perundangan ketenagakerjaan khususnya yang menyangkut perlindungan tenaga kerja di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta penanganan bahan berbahaya.  Peraturan perundangan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
  • UU No. 14/1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan, khususnya pasal 9 dan 10
  • UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja
  • UU dan Peraturan Uap tahun 1930
  • UU Petasan tahun 1932
  • UU tentang Timah Putih tahun 1931
  • Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran dan Penggunaan Pestisida
  • Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1975 tentang Keselamatan Kerja terhadap Radiasi
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.01/Men/198 tentang Kewajiban Melaporkan Penyakit Akibat Kerja
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.03/Men/1985 tentang Keselamatan dan Kesehatan Pemakaian Asbes
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.03/Men/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan di tempat kerja yang mengelola pestisida
  • Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE. 02/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas Bahan Kimia
 BAB III
 PENUTUP

3.1              Kesimpulan
Untuk mencegah kecelakaan kerja, sebelumnya harus diketahui sebab dari kecelakaan tersebut, baru dapat dicari jalan pemecahannya. Penyebab utama yang sering terjadi adalah situasi dan perilaku pekerja yang tidak aman yang terjadi di dalam bahan  kimia, dan akar penyebabnya adalah kurangnya penanganan keselamatan dan kesehatan kerja di dalam bahan  kimia . Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja, adalah dengan cara memperkuat penanganan keselamatan dan kesehatan kerja, dorongan agar perusahaan benar-benar melaksanakan penanganan keselamatan dan kesehatan kerja.
Data ini adalah data penting statistik kecelakaan kerja dan analisa kejadian demi mencegah terjadinya kecelakaan yang sama, tujuan utamanya adalah untuk menentukan bagaimana kesalahan itu terjadi. Apabila kita dapat menggunakan data dengan baik, maka kecelakaan yang sama atau bahkan kecelakaan yang lebih serius dapat dihindari.

3.2     Saran

1)         Sebaiknya pekerja menggunakan Alat Pelindung Diri dalam melakukan  kegiatan  industri kimia demi mencegah terjadi kecelakaan kerja.
2)         Sebaiknya Pemerintah penanganan khusus bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan pekerja.
 
Daftar Pustaka

·         Ridwan, Diktat Keselamatan Kerja Dan Pencegahan Kecelakaan (Jakarta, 1995)
·         Milos Nedved, Soemanto Imamkhasani, Fundamentals Chemical Safety And Major Hazard Control (Jakarta, 1991)
·         Milos Nedved, Soemanto Imamkhasani, Fundamentals Chemical Safety And Major Hazard Control (Jakarta, 1991)
·         Rosskam F., Chamicals In The Workplace (Geneva, 1996)..
·         TLV adalah nilai ambang batas yang direkomendasikan dan dilaksanakan secara ilegal. 
·         Safety Department, Buku Panduan Safety (Banten, 2003)
·         Soesanto Ismadi, et al., Hukum Ketenagakerjaan (Jakarta, 1992)
·         Imam Sjahputra, Amin Widjaja, Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan Baru Di Indonesia (Jakarta, 2004)

APD DI LABORATORIUM


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Baru pada tahun 1908 di New York, merupakan konpensasi pertama bagi pekerja yang mengalami kecelakaan. Kemudian setelah tahun 1911, menurut Dan Petersen (1971) bahwa pekerja mendapat konpensasi Penyakit Akibat Kerja (PAK) bila disebabkan tekanan panas (atmosfer) dan harusnya panas dalam industri diberi pelindung (safety).
Dengan demikian tenaga kerja mulai mendapatkan perlindungan secara hukum.
Namun demikian angka kematian akibat kecelakaan kerja di Amerika Serikat pada tahun 1912 sekitar 18.000 hingga 21000 jiwa dan tahun1933 sejumlah 14500 jiwa (Dan Peterson 1971).Pada peraturan  7 dari COSHH Secara khusus menyatakan bahwa pengendalian harus dilakukan melalui upaya-upaya selain penyedian alat pelindung diri , tetapi jika upaya lain tidak dapat melindungi atau memberikan pengendalian yang cukup, disamping upaya itu, harus disediakan alat pelindung diri yang sesuai dengan tujuannya dan sesuai dengan standar yang disahkan oleh pejabat kesehatan dan keselamatan kerja.
Undang-undang Eropa (1989), Dewan Masyarakat Eropa menerbitkan dua intruksi penting mengenai alat pelindung diri. Pertama, (89/656/EEC) menyatakan persyaratan  Kesehatan dan keselamatan minimum untuk pemakaian alat pelindung diri pekerja ditempat kerja dan mengharuskan Negara anggota untuk menerapakan mulai 31 Desember 1992. Rincihan dari arahan ini dapat dilihat pada official Journal (OJ) of the European Communities No. L dapat dilihat pada 393/19. Instruksi Kedua (89/686/EEC) adaalah menyeragamkan standar alat pelindung diri Eropa melaui Komisi Eropa untuk Standardisasi (CEN),instruksi ini  dapat dilihat pada OJ No. L 399/19 dan harus diteraapkan mulai 31 desember 1991.
Diperkirakan hampir 20% dari seluruh kecelakaan yang menyebabkan cacat adalah tangan. Tanpa jari atau tangan, kemampuan bekerja akan sangat berkurang. Kontak dengan bahan kimia Kaustik atau beracun, bahan-bahan biologis, sumber listrik, atau benda dengan suhu yang sangat dingin atau sangat panas dapat menyebabkan iritasi atau membakar tangan.Karena Bahan beracun dapat terabsorbsi melalui kulit dan masuk ke badan. Khusus di laboratorium hematologi, proporsi petugas yang berisiko tinggi berdasarkan penggunaan APD sampai 75%; padahal laboratorium ini lebih banyak menangani sample yang bersifat infeksius bila dibandingkan dengan laboratorium lainnya. Risiko akan semakin tinggi apabila petugas selain mempunyai kebiasaan menggunakan APD juga tidak mencuci tangan sesudah menangani sampel. Hal ini terjadi di laboratorium hematologi karena berdasarkan hygiene perorangan, 75% petugas di laboratorium ini juga berisiko terinfeksi penyakit berbahaya.
UU No. 23 / 1992 tentang kesehatan menjadi landasan hukum yang kuat untuk pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Sebagai penjabaran dari undang-undang tersebut salah satunya adalah Surat Keputusan Direktur Jendral Pelayanan Medik Nomor HK 006.06.3.5.00788 tahun 1995 tentang pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit (termasuk di dalamnya adalah pelayanan laboratorium klinik) untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Prosedur kerja yang sistematis dalam pelaksanaan tugas di dalam laboratorium, termasuk pengolahan spesimen merupakan faktor yang terpenting dalam system manajemen laboratorium secara menyeluruh. Untuk menjamin keselamatan dirinya, salah satu persyaratan tersebut adalah pada pemakaian alat pelindung diri berupa sarung tangan, jas laboratorium dan masker. Selain itu aspek prilaku petugas sendiri terhadap disiplin pemakaian alat pelindung diri (APD) dan higiene petugas sehabis penanganan sampel berupa pencucian tangan tidak boleh diabaikan.
Angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Seharusnya Penerapan budaya “aman dan sehat dalam bekerja” hendaknya dilaksanakan pada semua Institusi di Sektor Kesehatan termasuk Laboratorium Kesehatan.

 BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Alat Pelindung Diri (APD)
2.1.1 . Dasar Hukum
1. Undang-undang No.1 tahun 1970.
a.   Pasal 3 ayat (1) butir f: Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat untuk memberikan APD
b.  Pasal 9 ayat (1) butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD.
c.   Pasal 12 butir b: Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk memakai APD.
d.  Pasal 14 butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara cuma-Cuma.
2. Permenakertrans No.Per.01/MEN/1981  Pasal 4 ayat (3) menyebutkan kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi tenaga kerja untuk menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.
3. Permenakertrans No.Per.03/MEN/1982 Pasal 2 butir I menyebutkan memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan ditempat kerja
4. Permenakertrans  No.Per.03/Men/1986 Pasal 2 ayat (2) menyebutkan tenaga kerja yang mengelola Pestisida harus memakai alat-alat pelindung diri yg berupa pakaian kerja, sepatu lars tinggi, sarung tangan, kacamata pelindung atau pelindung muka dan pelindung pernafasan.

2.1.2 Pengertian APD
Alat Pelindung Diri (APD) merupakan peralatan pelindung yang digunakan oleh seorang pekerja untuk melindungi dirinya dari kontaminasi lingkungan. APD dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan Personal Protective Equipment (PPE). Dengan melihat kata "personal" pada kata PPE terebut, maka setiap peralatan yang dikenakan harus mampu memperoteksi si pemakainya. APD dapat berkisar dari yang sederhana hingga relatif lengkap. APD merupakan solusi pencegahan yang paling mendasar dari segala macam kontaminasi dan bahaya akibat bahan kimia. Jadi, tunggu apa lagi. Gunakanlah APD sebelum bekerja dengan bahan kimia.
2.1.3 Jenis-jenis APD
a. Perlindungan Mata Dan Wajah
Proteksi mata dan wajah merupakan persyaratan yang mutlak yang harus dikenakan oleh pemakai dikala bekerja dengan bahan kimia. Hal ini dimaksud untuk melindungi mata dan wajah dari kecelakaan sebagai akibat dari tumpahan bahan kimia, uap kimia, dan radiasi. Secara umum perlindungan mata terdiri dari Kacamata pelindung, Goggle,Pelindung wajah, Pelindung mata special (goggle yang menyatu dengan masker khusus untuk melindungi mata dan wajah dari radiasi dan bahaya laser).
b. Perlindungan Badan
Baju yang dikenakan selama bekerja di laboratorium, merupakan suatu perlengkapan yang wajib dikenakan sebelum memasuki laboratorium. Jas laboratorium dikenal oleh masyarakat pengguna bahan kimia ini terbuat dari katun dan bahan sintetik. Hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan jas laboratorium yaitu kancing jas laboratorium tidak boleh dikenakan dalam kondisi tidak terpasang dan ukuran dari jas laboratorium pas dengan ukuran badan pemakainya. Jas laboratorium merupakan pelindung badan dari tumpahan bahan kimia dan api sebelum mengenai kulit pemakainya. Jika jas laboratorium terkontaminasi oleh tumpahan bahan kimia, lepaslah jas secepatnya. Selain jas laboratorium, perlindungan badan lainnya adalah Apron dan Jumpsuits. Apron digunakan untuk memproteksi diri dari cairan yang bersifat korosif dan mengiritasi, yang berbentuk seperti celemek terbuat dari karet atau plastik.Untuk apron yang terbuat dari plastik, bahwa tidak dikenakan pada area larutan yang mudah terbakar dan bahan-bahan kimia yang dapat terbakar yang dipicu oleh elektrik statis, karena apron jenis ini dapat mengakumulasi loncatan listrik statis. Jumpsuits atau dikenal dengan sebutan baju parasut ini direkomendasikan untuk dipakai pada kondisi beresiko tinggi Bahan dari peralatan perlindungan badan ini haruslah mampu memberi perlindungan kepada pekerja laboratorium dari percikan bahan kimia, panas, dingin, uap lembab, dan radiasi.

c. Perlindungan Tangan
Kontak pada kulit tangan merupakan permasalahan yang sangat penting apabila terpapar bahan kimia yang korosif dan beracun. Sarung tangan menjadi solusi tidak hanya melindungi tangan terhadap karakteristik bahaya bahan kimia tersebut, sarung tangan juga dapat memberi perlindungan dari peralatan gelas yang pecan atau rusak, permukaan benda yang kasar atau tajam, dan material yang panas atau dingin.  Sarung tangan harus secara periodik diganti berdasarkan frekuensi pemakaian dan permeabilitas bahan kimia yang ditangani. Jenis sarung tangan yang sering dipakai di laboratorium, diantaranya, terbuat dari bahan karet, kulit dan pengisolasi (asbestos) untuk temperatur tinggi. Jenis karet yang digunakan pada sarung tangan, diantaranya adalah karet butil atau alam, neoprene, nitril, dan PVC (Polivinil klorida). Semua jenis sarung tangan tersebut dipilih berdasarkan bahan kimia yang akan ditangani.
 APD tangan dikenal dengan Safety Glove dengan berbagai jenis penggunaanya. Berikut ini adalah jenis-jenis sarung tangan dengan penggunaan yang tidak terbatas hanya untuk melindungi dari bahan kimia. Jenis-Jenis Safety Glove antara lain : Sarung Tangan Metak Mesh, Sarung metal mesh tahan terhadap ujung yang lancip dan menjaga terpotong, Sarung tangan Kulit, Sarung tangan yang terbuat dari kulit ini akan Melindungi tangan dari permukaan kasar, Sarung tangan Vinyl dan neoprene Melindungi tangan terhadap bahan kimia beracun,  Sarung tangan Padded Cloth Melindungi tangan dari ujung yang tajam, pecahan gelas, kotoran dan Vibrasi, Sarung tangan Heat resistant Mencegah terkena panas dan api, Sarung tangan karet Melindungi saat bekerja disekitar arus listrik karena karet merupakan isolator (bukan penghantar listrik), Sarung tangan Latex disposable Melindungi tangan dari Germ dan bakteri, sarung tangan ini hanya untuk sekali pakai,Sarung tangan lead lined Digunakan untuk melindungi tangan dari sumber radiasi.
d. Perlindungan Pernafasan
Kontaminasi bahan kimia yang paling sering masuk ke dalam tubuh manusia adalah lewat pernafasan. Banyak sekali partikel-partikel udara, debu, uap dan gas yang dapat membahayakan pernafasan. Laboratorium merupakan salah satu tempat kerja dengan bahan kimia yang memberikan efek kontaminasi tersebut. Oleh karena itu, para pekerjanya harus memakai perlindungan pernafasan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan masker, yang sesuai. Pemilihan masker yang sesuai didasarkan pada jenis kontaminasi, kosentrasi, dan batas paparan. Beberapa jenis perlindungan pernafasan dilengkapi dengan filter pernafasan yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk. Filter masker tersebut memiliki masa pakai. Apabila tidak dapat menyaring udara yang terkontaminasi lagi, maka filter tersebut harus diganti.
2.2      Masalah Umum APD(Alat Pelindung Diri)

a.       Tidak semua APD melalui pengujian labotoris sehingga tidak diketahui derajat perlindungannya.
b.      Tidak nyaman dan kadang-kadang membuat si pemakai sulit bekerja
c.       APD dapat menciptakan bahaya baru
d.      Perlindungan yang diberikan APD sulit untuk dimonitor
e.       Kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja
f.       Efekctivitas APD sering tergantung “ GOOD FIT “ pada pekerja
g.      Kepercayaan pada APD akan menghambat pengembangan kontrol teknologi yang baru


2.3      Masalah Pemakaaian APD(Alat Pelindung Diri)

1. Pekerja tidak mau memakai dengan alasan:
  • Tidak sadar/tidak menerti
  • Panas
  • Sesask
  • Tidak enak dipakai
  • Tidak enak dipandang
  • Berat
  • Mengganggu pekerjaan
  • Tidak sesuai dengan bahaya yang ada
  • Tidak ada sangsi
  • Atasan juga tidak memakai
2. Tidak disediakan oleh perusahaan
  • Ketidakmengertian
  • Pura-pura tidak mengerti
  • Alasan bahaya
  • Dianggap sia-sia
3. Pengadaan oleh perusahaan
  • Tidak sesuai dengan bahaya yang ada
  • Asal beli (terutama memilih yang murah)
Beberapa Contoh Masalah APD antara lain :
-          Respirator
  • Penutup muka yang buruk
  • Sumbatan kerusakan/cacat pada filter
  • Pemeliharaan yang tidak baik
  • Tali pengikat longgar/lepas
  • Tidak nyaman
  • Psikologis dan kecemasan
  • Meningkatkan beban kerja pada jantung dan hati
  • Menghirup kembali udara yang dihembuskan
  • Kesulitan komunikasi

-  Alat Pelindung Telinga
  • Resiko infeksi
  • Kesulitan komunikasi
  • Merasa terisolasi
  • Sakit kepala karena jepitan terlalu kuat
  • Tidak nyaman
  • Menguranggi kemampuan menduga jarak
  • Iritasi kulit
-          Sarung Tangan
  • Mungin dapat menangkap bahan kimia
  • Mengurangi kepekaan tangan dan jari
  • Kebocoran dari lubang yang tidak diketahui
  • Mungkin menyebabkan dermatitis (keringat yang berlebihan)
  • Bahan kimia tertentu

- Alat Pelindung Mata
  • Dapat membatasi pandangan
  • Timbul kabut, noda dan goresan kecil
  • Tidak dapat melihat serusakan secara visual
  • Beberapa kaca mata pengaman memungkinkan benda masuk dari samping
2.4 Risiko Pemakaian APD Penyebab Penyakit Akibat Kerja di Laboratorium Kesehatan

Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Kecelakaan menyebabkan kerugian material dan penderitaan dari yang paling ringan sampai pada yang paling berat. Untuk menghindari risiko dari kecelakaan dan terinfeksinya petugas laboratorium khususnya pada laboratorium kesehatan sebaiknya dilakukan tindakan pencegahan seperti pemakaian APD, apabila petugas laboratorium tidak menggunakan alat pengaman, akan semakin besar kemungkinan petugas laboratorium terinfeksi bahan berbahaya, khususnya berbagai jenis virus(Depkes RI, 1996/97).
Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Sebagai contoh antara lain debu silika dan Silikosis, uap timah dan keracunan timah. Akan tetapi penyebab terjadinya akibat kesalahan factor manusia juga (WHO), salah satunya pekerja tidak menggunakan APD. Penyakit Akibat Hubungan Kerja adalah  penyakit dengan penyebab multifaktorial, dengan kemungkinan besar berhubungan dengan pekerjaan dan kondisi tempat kerja. Pajanan di tempat kerja tersebut memperberat, mempercepat terjadinya serta menyebabkan kekambuhan penyakit. Penyakit akibat kerja di laboratorium kesehatan umumnya berkaitan dengan faktor –faktor yaitu :

a.       Faktor Biologis
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan terutama kuman-kuman pyogenic,colli, bacilli dan staphylococci yang bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi pekerja hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus. Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup tinggi. Sebagai contoh dokter di RS mempunyai risiko terkena infeksi 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada dokter yang praktek pribadi atau swasta, dan bagi petugas Kebersihan menangani limbah yang infeksius senantiasa kontak dengan bahan yang tercemar kuman patogen, debu beracun mempunyai peluang terkena infeksi


b.      Faktor Kimia
Petugas di laboratorium kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika, dengan solvent yang digunakan dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negative terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton). Bahan toksik ( trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang terpapar.
c.       Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan, hal ini disebabkan peralatan yang digunakan pada umumnya barang impor yang disainnya tidak sesuai dengan ukuran pekerja Indonesia. Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja.

d.      Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja meliputi :
1. Kebisingan, getaran akibat mesin dapat menyebabkan stress dan ketulian
2. Pencahayaan yang kurang di ruang kamar pemeriksaan, laboratorium, ruang perawatan dan kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.
3. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja
4. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.
5. Terkena radiasi Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan,
penggunaannya meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang menangani.

e.        Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan yang dapat
menyebabkan stress :
1. Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di laboratorium kesehatan di tuntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan
2. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3. Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama teman kerja.
4. Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sector formal ataupun informal.

2.5        Beberapa alasan Tidak menggunakan APD
                       
Sudah tidak asing apabila menghadapi kondisi para pekerja yang tidak melengkapi dirinya dengan APD saat bekerja. Tapi keselamatan kerja tidak mempuyai alasan untuk dilupakan walau sesaat.
Berikut ini adalah hasil wawancara Safety News Alert dengan 290 orang Safety Officer mengenai cara mereka mengatasi berbagai alasan pekerja yang tidak memakai APD saat bekerja:
a.       Ini tidak cocok / tidak nyaman (alasan 30% pekerja)
Solusi: Biarkan pekerja memilih APD yang cocok, selalu tanyakan apakah ada masalah dengan ukuran atau kenyamanan APD yang mereka gunakan, dan lakukan uji coba ukuran dan kenyamanan APD terhadap pekerja sebelum melakukan pengadaan APD
b.      Tidak tahu kalau sekarang harus memakai APD (10% alasan pekerja).
Solusi: Selalu buat pernyataan dengan tanda tangan pekerja bahwa mereka sudah menerima dan paham terhadap materi training APD dan lakuan tindakan disiplin yang tegas oleh supervisor terhadap pekerja yang tidak memakai APD saat bekerja di lapangan.
c.       Tidak punya waktu untuk memakai APD/ Memakai APD menghabiskan waktu saya (18% alasan pekerja). Solusi: komunikasikan dengan pekerja tersebut mengenai alasan mereka lebih dalam lagi, komunikasikan alasan ini dengan supervisor produksi agar dapat bersinergi antara K3 dengan watu produksi, pastikan pekerja tersebut sudah mendapatkan training mengenai APD, dan masukan keharusan memakai APD kedalam aturan disiplin waktu saat produksi.
d.      Tidak akan celaka (8 % alasan para manager dan pekerja). Solusi: undang pembicara dari korban kecelakaan kerja, dan biarkan ia bercerita tentang bagaimana kecelakaan kerja ini sangat berdampak pada kehidupan pribadinya, dan simulasikan pada pekerja untuk mengikat tali sepatu mereka dengan satu tangan sebagai ilustrasi jika mereka kehilangan satu tangan akibat kecelakaan kerja.

2.6 Tindakan Pencegahan

a.    Tindakan Pencegahan Secara Umum
                  Sebagian besar laboratorium klinik membutuhkan penanganan darah dan cairan tubuh. The CDC dan The National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) telah mengembangkan sistem untuk perlindungan pekerja secara umum yang disebut Pencegahan secara umum (Universal Precaution / UP). Pengendalian perancangan, pengendalian praktek kerja dan penggunaan alat pelindung diri pada pekerja laboratorium dari potensi paparan agen infeksius dalam darah. Perhatian agen yang primer adalah Hepatitis dan HIV. HBV (Hepatitis B Virus) merupakan virus DNA yang menyebabkan sekitar 12.000 infeksi pada pekerja pelayanan kesehatan per tahun. Selama Hepatitis B akut, kadar virus dalam darah dan cairan tubuh sangat tinggi mencapai 108 – 109 infeksi unit/ml. Satu persen atau lebih pasien yang dirawat akan menjadi kronik dan pembawa virus. Virus dapat bertahan pada permukaan yang kering. Beberapa prosedur yang ditunjukkan oleh EPA sebagai sterilisasi atau desinfektan tingkat tinggi dapat menginaktifkan HBV. Virus inaktif dalam permukaan kering dalam waktu yang lama. Beberapa desinfektan yang mampu menginak tivasikan HBV akan efektif melawan HIV, karena agen yang belakangan lebih peka sampai tindakan. Agen lain yang dapat ditularkan melalui spesimen darah termasuk malaria, sifilis, babesiosis, brucellosis, leptospirosis, infeksi arbovirus, Creutzfeld-Jacob disease, T- limfositik virus pada manusia tipe I, virus demam berdarah, dan Cytomegallo Virus.
                  Konsep pencegahan secara umum diterapkan pada seluruh darah dan jaringan manusia. Termasuk cairan serous seperti cairan pleura, peritoneal, perikardial, amnion, serebrospinal dan sendi. Semen dan sekret vagina mempunyai bahaya yang sama. Seluruh spesimen klinik lain (seperti sputum, feses, keringat, urin, airmata, isi lambung dan saliva) kurang diperhatikan. UP diterapkan hanya jika substansi terdiri dari darah yang terlihat. Elemen dari keselamatan secara umum laboratorium yang baik adalah bagian dari UP. Pekerja harus menggunakan pelindung yang baik ketika menangani spesimen klinik. Sarung tangan latex atau vinyl digunakan dan diganti secara periodik. Pakaian yang tahan air, celemek atau baju luar dan pelindung wajah sebaiknya dipakai saat ada kemungkinan terpercik dan tercelup. Sering cuci tangan ( terutama saat sarung tangan dicopot) adalah hal yang mendasar yang harus dilakukan. Semua spesimen darah dan cairan tubuh seharusnya dikumpulkan dan dikirim dengan wadah yang terhindar dari kebocoran, wadah yang mempunyai potensi terkontaminasi dari luar harus dikirim dengan wadah kedua anti bocor seperti kantong plastik. Pekerja harus hati-hati dengan permukaan, wadah, permintaan dan pelaporan yang terkontaminasi. Pengecatan darah yang tampak dan tumpah sesegera mungkin didekontaminasi atau ditutupi.
                  Permukaan untuk bekerja harus didekontaminasi setiap pergantian. Juga teknik untuk menghindarkan bentuk percikan atau droplet merupakan bagian yang terus menerus dilakukan pada pelatihan tenaga kerja baru dan program pendidikan yang terus menerus. Semua pekerjaan pipetasi harus menggunakan alat. Label peringatan bahaya biologi harus ditempelkan pada semua wadah yang berisi zat kontaminan. Limbah infeksius harus dikemas dan dihancurkan dengan baik. Semua yang tajam harus ditangani secara hati-hati dan dibuang pada tempat yang tahan terhadap tusukan. Pemilihan teknologi untuk alternatif mengurangi bahaya ( seperti menghindari penggunaan barang yang tajam atau penggantian metode manual ke automatis, juga bagian dari kewaspaan umum. Wadah dengan bagian luar terkontaminasi harus ditempatkan pada kantong plastik saat dikirim ke laboratorium. Potong beku dari jaringan yang tidak padat harus hati-hati. Sebagian agen infeksius tidak inaktif pada pembekuan. Pembekuan jaringan harus dilakukan dengan hati-hati. Dilarang menyemprot jaringan dengan gas pembeku dengan tekanan karena bahan yang infeksius akan memercik.

b. Tindakan Pencegahan Secara khusus
Pencegahan khusus diterapkan pada penanganan jaringan dari pasien Creutzfeld-Jacob disease. Kuman tahan terhadap formalin dan bahan fiksasi lain, alkohol, dan panas (diatas 100ºC ). Dibutuhkan pemberlakuan kewaspadaan umum secara tegas. 5,25% larutan sodium hipoklorit atau 1 N sodium hidroksi sangat efektif menginaktifkan agen pada permukaan. Pembuangan cairan atau alat yang terkontaminasi dengan cara direndam dalam 5,25% larutan sodium hipoklorit selama 1 jam atau dengan autoklaf pada 132ºC selama 1 jam.

2.7 Biological Safety Cabinetry
Merupakan Pengendalian bahaya mikrobiologi terbaik dengan perancangan Biological Safety Cabinetry ( BSC ) yang sesuai. Kabinet kelas I digunakan pada tekanan negatif dengan kecepatan aliran sekitar 75 kaki / menit. Udara dalam kamar dikeluarkan melalui High Effeciency Particulare Air (HEPA) filter / filter efisiensi partikel udara. Bagian depan dari BSC kelas I dapat dibuka atau tertutup dengan sarung tangan lengan panjang. BSC kelas II merupakan aliran udara vertikal dan udara dalam yang disirkulasi ulang melalui filter HEPA. Kamar beroperasi pada tekanan negatif dengan ruang yang sama ke depan kabinet kelas I, tetapi pemurnian dengan kontaminasi minimal dari kultur. Kelas I dan II sama tingkatnya dengan keselamatan personel. Kabinet kelas III harus digunakan pada sebagian besar agen yang virulen. Ruang tertutup seluruhnya. Isi harus diperlakukan dengan sarung tangan lengan panjang yang sesuai. Seluruh bahan yang masuk kabinet BSC kelas III harus sudah di autoklaf atau didekontaminasi. Kabinet Kelas I dan II biasa ditemukan di laboratorim klinik. Kelas III BSC dibutuhkan pada fasilitas khusus yang mengkultur, seperti Mycobacterium tuberculosis atau jamur sitemik dan HIV.
Tingkat Biosafety The Center for Disease Control (CDC) dan The National Institutes of Health mempunyai sistem pengkodeaan dari peningkatan level keamanan dari laboratorium mikrobiologi dan klinik. Tingkat biosafety (BSL) I yang dibuat untuk laboratorium yang menggunakan bahan biasanya tidak infeksius terhadap manusia. Bekerja dengan menggunakan benchtop yang terbuka. Praktek laboratorium yang baik meliputi penggunaan alat pipetasi, pembersihan tumpahan, desinfetan harian, dan pembuangan limbah yang baik. Laboratorium klinik seharusnya mengikuti BSL II. BSL II berbeda dengan BSL I pada akses ke tempat kerja yang seharusnya dijaga ketat dari individu yang belum terlatih dan prosedur yang jelas seperti aerosol yang menimbulkan infeksi dilakukan di BSC. BSL II efektif dalam pengendalian bahaya infeksi dari agen yang ada dalam darah pada spesimen laboratorium klinik. Prosedur bakteriologik secara rutin seperti meletakkan dan mempersiapkan hapusan untuk pengecatan diselenggarakan dalam BSL II. Pemeriksaan parasit, penelitian bakteri, dan beberapa kultur virus dan jamur lebih aman bila dengan tindakan pencegahan dalam BSL II. BSL III sesuai dengan laboratorium yang bekerja dengan agen yang dapat menyebabkan penyakit yang fatal bila terhirup. Akses ke laboratorium dan aliran dikendalikan secara cermat. Semua prosedur dilakukan dalam BSC atau alat yang seusai. Pekerja harus memakai pakaian pelindung yang lengkap. Sebagian kecil laboratorium klinik yang mengkultur jamur sistemik dan tuberkulosis butuh melanjutkan ke BSL III.

2.8 Dekontaminasi

               Beberapa prosedur dan teknik yang mengurangi infektifitas dari substansi atau bahan menjadi tingkat lebih aman (noninfektif) disebut dekontaminasi. Germisida adalah istilah umum untuk semua substansi yang dapat membunuh kuman patogen. EPA membagi germisida menjadi 3 kategori umum. Sterilisasi penghancuran secara komplet semua kuman infeksius ( termasuk mikobakteria dan spora). Desinfektan sangat efektif melawan mikroorganisme yang terseleksi. Desinfektan diproduksi tergantung dari spektrum aktivitas tertentu. Desinfektan mungkin tidak efektif melawan spora bakteri dan mikobakteria. Antiseptik adalah bahan kimia pembunuh kuman yang cocok untuk kulit, jaringan dan membran mukosa. Antiseptik sebaiknya tidak digunakan untuk desinfektan laboratorium. Sampel darah atau jaringan yang tumpah harus dibersihkan dan didekontaminasi. Kebersihan diri dengan memakai dan menggunakan alat pengaman keselamatan kerja. Forsep atau sekop digunakan untuk membersihkan pecahan gelas tanpa harus kontak manual. Protein dan lemak dalam cat dapat menginaktifkan desinfektan kimia atau sebagai barier sekitar agen infeksius. Oleh karena itu, sisanya kemudian dicuci dengan detergen dan air. Setelah semua darah yang terlihat dibersihkan, gunakan desinfektan yang sesuai. Larutan yang baru. 1:10 larutan pemutih ( 5,25% sodium hipoklorit). Formula iodofor merupakan desinfektan kuat yang bisa juga digunakan. Aldehid ( dalam larutan glutaraldehid atau formaldehid) dan fenol juga efektif namun toksik; bahan hanya digunakan pada ruang dengan ventilasi yang adekuat atau dengan masker asap kimia.
               Dekontaminasi pada instrumen laboratorium sebaiknya dilakukan secara teratur. Frekuensinya tergantung dari penggunaannya. Personel sebaiknya memakai sarung tangan selama beraktivitas.. Tumpahan pada alat segera dibersihkan dan didesinfektan. Potensi paparan dapat diminimalkan dengan cara yang sederhana. Kerusakan tabung dalam sentrifuse, rotor harus ditunggu sampai benar-benar berhenti sebelum membuka penutupnya; sehingga droplet yang melalui udara mengendap. Pecahan kaca diambil dengan forsep. Bagian luar dibersihkan dengan deterjen dan desinfektan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keamanan kerja di Laboratorium Kesehatan bertujuan agar petugas, masyarakat dan lingkungan laboratorium kesehatan saat bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, aman, selamat, dan produktif. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu kemauan, kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Penanggung-jawab laboratorium, stake holder laboratorium yang lain seperti pemilik, karyawan yang bekerja didalamnya dan bahkan pelanggan harus mempunyai sikap yang sama dalam pelaksanaan keamanan kerja di laboratorium kesehatan. Untuk menjamin keselamatan diri di laboratorium, salah satu persyaratan adalah pada pemakaian alat pelindung diri berupa sarung tangan, jas laboratorium dan masker. Selain itu aspek prilaku petugas sendiri terhadap disiplin pemakaian alat pelindung diri (APD) dan higiene petugas sehabis penanganan sampel berupa pencucian tangan tidak boleh diabaikan.

3.2 Saran
a.       Petugas Kesehatan dan non kesehatan sebaiknya disiplin terhadap pemakaian alat pelindung diri (APD) dan higiene petugas sehabis penanganan sampel berupa pencucian tangan tidak boleh diabaikan.
b.      Dalam penanganan spesimen perlu diperhatikan cara pemeliharaan/mempertahankan kualitas kerja (perfomance) pada setiap taraf/langkah dalam keseluruhan rantai prosesnya Agar nantinya tidak terjadinya kecelakaan kerja.
c.       Penyuluhan tentang APD kepada semua masyarakat agar dapat mengurangi angka kecelakaan pada saat bekerja dan Penggunaan APD sebaiknya sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja.

Daftar Pustaka :




Stephen K. Hall. Chemical Safety in the Laboratory. CRC Press, Inc., 1994.

Robert J. Alaimo. Handbook of Chemical Health and Safety. American Chemical Society, Oxford University Press. 2001.

Merck KGaA. Fundamentals of Laboratory Safety. Git feffag GmbH. 2001.